Seni / Seni Rupa

Komposisi Kacau Soni Irawan di Seni dan Musik

Baik sebagai seniman visual maupun musisi, Soni Irawan menghadirkan komposisi warna, emosi, dan spontanitas yang menampilkan individualisme yang belum pernah ada sebelumnya.

28 Okt, 2020 | Oleh Rai Rahman

‘Stay’, akrilik, oil bar, paint marker, cat semprot di atas kanvas, 200cmX180cm, 2020

Lahir pada 15 Januari 1975, Soni Irawan merupakan salah seorang pendiri band eksperimental Jogjakarta ‘Seek Six Sick’, yang juga kemudian turut mempengaruhi semangat dan energinya dalam dunia seni. Hampir di setiap kanvasnya yang memuat rangkaian goresan spontan, gambar sketsa dan potongan-potongan, Soni Irawan menggunakan karya seninya untuk mengekspresikan ketertarikan dalam menangkap semangat kelangsungan hidup manusia di kehidupan sehari-hari.

Seni dan Musik Menandai Setiap Karya Komposisi Kacau Soni Irawan

‘Only in My Head’, akrilik, oil bar, cat semprot, paint marker di atas kanvas, 130cmX130cm, 2020

Lahir pada tahun 1975, Anda besar di Yogyakarta, yang dapat disebut sebagai ibu kota seni Indonesia! Anda kemudian lulus dari Institut Seni Indonesia yang juga berlokasi di Yogyakarta. Ceritakan tentang langkah pertama Anda sebagai seniman?

Saya kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1993, mengambil jurusan seni grafis di bawah Fakultas Seni Rupa.

Di bangku kuliah, mahasiswa jurusan seni grafis merasa tidak akan mencapai apa-apa atau memiliki masa depan karena tidak banyak panutan seniman seni grafis di Indonesia. Bukan berarti tidak ada karya seni yang signifikan dalam seni grafis pada masa itu, hanya saja masyarakat Indonesia belum dapat mengapresiasi karya seni grafis secara maksimal. Orang awam dulu tidak tahu tentang seni grafis, atau bagaimana seni grafis sebenarnya adalah bagian dari seni rupa. Apa yang mereka ketahui tentang karya seni adalah pahatan dan lukisan. Karenanya, banyak lulusan seni grafis yang akhirnya bekerja di perusahaan penerbitan dan periklanan.

Selama kuliah, kami diajari tentang seni grafis standar dan konvensional, yang di dalamnya terdapat aturan ketat dalam membuat karya seni. Ada banyak standar atau aturan yang harus ditaati agar karya kita dikenal sebagai karya seni grafis.

Akibat kondisi tersebut, sebagian besar siswa mengekspresikan kreativitasnya di jalanan dengan membuat lukisan mural. Di sini (di jalanan), kami dapat dengan bebas mengekspresikan diri kami dalam membuat karya seni tanpa harus mengkhawatirkan aturan seni grafis. Kami dapat mengekspresikan apa pun yang kami inginkan terlepas dari konsep seni terbaru.

Bagi saya, selain melukis mural, bermain musik dalam grup band juga menjadi sarana untuk mengekspresikan diri.

Pada 2002, saya memutuskan untuk mengikuti Philip Morris ASEAN Art Awards. Saya pikir kompetisinya sangat bagus, karena menerima semua jenis karya seni. Kompetisi sebelumnya membatasi peserta untuk hanya mempresentasikan lukisan. Philip Morris ASEAN Art Awards mungkin satu-satunya kompetisi seni bergengsi di Asia Tenggara saat itu. Saya menggunakan teknik grafis konvensional yang dipadukan dengan seni stensil yang saya dapatkan dari seni jalanan. Hasil yang saya peroleh cukup menggembirakan, karena saya termasuk salah satu dari 5 peserta terbaik, bersama dengan almarhum S. Teddy D, Ay Tjoe Christy, Ibrahim, dan Zulkarnaini. Kemudian saya ikut langkah selanjutnya di Asia Tenggara pada tahun 2003. Itu saya rasa langkah awal karir seni saya.

‘Zorro; self-portrait’, akrilik, oil bar, cat semprot, paint marker di atas kanvas, 180cmX150cm, 2019

Anda adalah musisi dan salah satu pendiri band eksperimental Yogyakarta Seek Six Sick. Seni Anda sangat dipengaruhi oleh semangat dan energi musik rock. Ceritakan tentang bagaimana berkiprah sebagai musisi dan juga pelukis? Apakah Anda suka bagaimana karya seni Anda tampak mencerminkan ‘chaos composition’ atau komposisi kacau dari musik Seek Six Sick?

Inspirasi terbesar saya adalah seni jalanan dan musik yang saya mainkan: yakni noise rock. Saya mulai bermain musik sebelum membuat karya seni, dan saya belajar banyak dengan menemukan proses pembuatan karya yang saya sukai dalam bermain musik. Saya ingin melukis seperti saya memainkan musik saya, seperti membuat komposisi yang kacau. Pada dasarnya, proses pembuatan musik saya adalah jam session, yang secara spontan mengisi celah satu sama lain dan merespons suara yang ada, berdasarkan nuansa dan tema yang telah kami putuskan sebelum sesi.

Saya telah mencoba untuk mengadaptasi praktik ini dalam membuat karya seni atau lukisan saya dan sekarang saya memiliki proyek band baru, bernama Sakarin, yang baru saja merilis album pertamanya tepat sebelum pandemi. Tersedia sekarang di semua platform streaming, seperti musik iTunes, Spotify, dan Bandcamp di bawah label Dugtrax Record.

‘No Normal Story’, akrilik, oil bar, cat semprot, paint marker di atas kanvas, 200cmX180cm, 2020.

Kanvas Anda dipenuhi dengan guratan-guratan spontan, gambar samar, dan potongan-potongan, dengan menggunakan media oil bar yang karakteristiknya memberi kesan kasar dan tegas. Bagaimana Anda menggambarkan gaya karya Anda?

Kanvas saya dipenuhi dengan guratan spontan, gambar kasar atau sketsa, dan potongan-potongan. Saya menggunakan oil bar sebagai media agar karakternya bisa dibentuk kasar dan tegas, karena saya ingin memperlakukan alat kuas atau lukis saya seperti sedang memainkan gitar. Semuanya adalah visualisasi suara dan sesuai karakter saya bermain gitar: spontan, kasar dan polos. Garis-garis oil bar memainkan distorsi gitar yang tebal dan kasar, sedangkan cat yang meleleh dibiarkan jatuh seperti suara feedback gitar yang keluar tanpa ditutup.

‘Dark Wave’, akrilik, oil bar, paint marker, cat semprot di atas kanvas, 90cmX140cm, 2020.

Apakah benar Jean-Michel Basquiat menjadi rujukan penting bagi Anda saat menjadi seniman?

Saya mulai kuliah di universitas pada tahun 1993. Saat itu handphone belum populer. Apalagi smartphone dan internet yang canggih. Referensi karya seni sangat terbatas. Hanya ada buku di perpustakaan kampus, atau kadang teman meminjami saya beberapa buku referensi. Basquiat menjadi rujukan wajib bagi para pelajar yang menyukai seni jalanan, seni mentah, dan seni luar. Apalagi setelah film ‘Basquiat’ (1996) dirilis, saya merasa seperti menemukan idola atau pahlawan yang sesuai dengan selera seni saya. Menurut saya, Basquiat telah membuka mata saya dan menjadi acuan awal dalam proses pendewasaan saya sebagai seniman.

‘Breaking The Wall’, akrilik, oil bar, paint marker, cat semprot di atas kanvas, 200cmX300cm, 2018

Anda sempat vakum selama beberapa tahun, kemudian kembali ke kancah seni. Apa bagian yang paling menantang dalam membuat karya?

Setelah Philip Morris Art Awards, saya bekerja sebagai desainer grafis hingga pertengahan 2000-an, karena seni jalanan dan musik underground tidak populer dan tidak dapat dianggap sebagai profesi.

Saat bosan dengan rutinitas kantor, teman lama saya, Heri Pemad (yang kemudian menjadi pendiri ArtJog) tiba-tiba bertanya tentang karya seni lukis saya. Saya tidak banyak melukis di kanvas, karena saya lebih suka melukis di dinding daripada di kanvas. Dia menawarkan untuk menjual karya seni saya dan ternyata lukisan saya semuanya laku. Kemudian, dia mengundang saya untuk menjadi seniman profesional, menjadikan karya seni saya sebagai mata pencaharian. Dia bahkan merangkap sebagai manajer di awal karir saya itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai desainer grafis dan menjadi seniman sepenuhnya.

Semua lukisan saya dibuat berdasarkan spontanitas. Tantangannya adalah saya tidak bisa mengharapkan hasil akhir dan saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk memacu kemajuan saya, memastikan bahwa setiap karya baru berbeda dari karya seni sebelumnya yang saya buat.

‘A Hundred Hopes (Tribute to Street Fighters)’, iklan poster toko bekas, 2.5mX16m, 2018.

Saat ini, Anda memiliki kolektor dari seluruh dunia. Anda juga dirujuk di sejumlah situs seni global terkemuka. Apakah pengakuan seperti itu menginspirasi Anda?

Ya. Pengakuan seperti itu tentu saja menginspirasi saya. Hal tersebut membuat saya semakin percaya diri dalam berkarya, dan menegaskan kembali bahwa menjadi seniman adalah pilihan terbaik yang pernah saya buat.

Potret diri di proyek mural di kantor pusat Gojek, Jakarta, 2018.

Bagaimana Anda melihat dunia seni di Indonesia saat ini? Seberapa penting ruang yang diberikan pada seniman dalam masyarakat Indonesia modern?

Dunia seni di Indonesia telah berkembang secara progresif selama 10 tahun terakhir, karena perkembangan budaya dan teknologi tidak hanya membuatnya lebih mudah untuk terhubung tetapi juga telah menciptakan banyak seniman muda dan generasi penerus yang berbakat.

Seniman harus mampu menjadi filter budaya dan teknologi informasi yang progresif. Seniman harus mampu menggerakkan atau menjaga pola pikir manusia agar tetap berbudaya. Di sini, di Jogja, seniman lokal secara aktif berpartisipasi secara individu maupun kelompok untuk membantu menyelesaikan masalah sosial di sekitar mereka. Sebagai contoh, banyak seniman yang membantu para seniman yang terkena dampak melalui beberapa gerakan sosial di awal pandemi.

‘Infinity’, akrilik, oil bar, paint marker, cat semprot di atas kanvas, 150cmX260cm, 2019.

Lima kata yang paling menggambarkan seni Anda?

Seni jalanan bertemu dengan noise rock.

Di kota manakah kami dapat melihat pameran tunggal Anda berikutnya?

Saya seharusnya mengadakan pameran tunggal di Bali tahun ini, tetapi ditunda karena virus corona. Pameran akan ditunda hingga situasi lebih kondusif. Saya berharap bisa dilakukan tahun depan.

Di mana kami dapat melihat beberapa karya Anda via online, dan apakah karya tersebut dijual?

Beberapa karya saya saat ini bisa dilihat dan dipesan di Instagram.

‘Breaking The Wall’, bata dinding dan gitar, 70cmX120cm, 2017.

Jika Anda menyebut satu mentor yang menginspirasi Anda dalam hidup dan jalan sebagai seniman, siapakah dia?

Saya akan menyebut nama alamarhum S. Teddy.D. Dia adalah teman lama saya, dan senior di kampus. Dia mengambil jurusan melukis dan merupakan siswa yang aktif, cerdas dan kritis. Pertemuan pertama saya dengannya adalah saat pameran tugas kampus. Dia mendatangi saya dan bertanya “Apakah ini karya senimu?” dan kemudian memuji saya dengan mengatakan “Kamu memiliki karya seni yang hebat, mari bertukar (karya seni kita)”. Saya bertanya-tanya bagaimana dia bisa menjadi antusias dan spontan di saat yang sama.

Acara Philip Morris membuat kami semakin dekat, karena kami menghabiskan waktu bersama selama tur pameran di beberapa kota dan saat putaran final di Asia Tenggara. Kami bahkan menginap di hotel yang sama. Setelah kami berdua punya anak, anak-anak kami pun berteman baik dan saya sering mengunjungi rumahnya. Dalam setiap pertemuan, dia selalu menanyakan perkembangan karya seni saya. Ia selalu memberikan saran dan kritiknya. Seolah-olah yang ada di benaknya hanyalah seni, dan dia akan selalu antusias membahas perkembangan seni. Saya akhirnya menjadikannya sebagai konsultan resmi pekerjaan saya. Dia selalu memotivasi saya untuk mengeksplorasi musik saya dan mengekspresikannya dalam karya seni saya. Dia mengatakan bahwa karena saya adalah seorang musisi yang juga seorang seniman visual, saya harus bisa mengekspresikan, melukis atau melambangkan musik saya. Menurut Teddy, saya memiliki keuntungan sebagai musisi dan seniman, jadi musik dan karya seni saya harus berjalan bersama. Sayangnya, Teddy meninggal dunia pada malam pembukaan ArtJog tahun 2016. Saya benar-benar kehilangan sahabat dan mentor saya.

 

Soni Irawan dapat dihubungi melalui Instagram (link: https://www.instagram.com/soni_irawan_soni/?hl=en) dan [email protected]


 
Back to top