Properti / Arsitektur

Bagaimana kisah Piramida Louvre I.M. Pei membuat kita memikirkan kembali persoalan arsitektur

I.M. Pei dikecam ketika dia meluncurkan Piramida Louvre yang sekarang identik dengan Paris. Apa yang dikatakannya tentang sikap kita terhadap infrastruktur baru

17 Jul, 2019 | Oleh Amir Syarifuddin

Pada tanggal 16 Mei 2019, dunia berduka atas kematian raksasa arsitektur Ieoh Ming Pei (I.M. Pei), orang keturunan Amerika-Cina yang terkenal karena mengonseptualisasikan Piramida Louvre. Sebagai perancang visioner dan juga pengusaha yang cerdas, I.M. Peh adalah “salah satu dari sekian arsitek yang juga menarik bagi pengembang real estat, pemimpin perusahaan, dan lembaga museum seni (ketiga kelompok, tentu saja, sering terdiri dari dua anggota yang pertama),” menurut kritikus arsitektur NYT Paul Goldberger. 102 tahun hidupnya telah diisi dengan meninggalkan warisan yang berharga sehingga semua orang bisa melihat namanya terpampang di beberapa bangunan paling ikonik di abad ke-20,  meskipun daya tariknya luas dan populer, tidak semua kreasi Pei dianut dengan penuh antusias.

Bagaimana cerita Piramida Louvre I.M. Pei membuat kita memikirkan kembali persoalan arsitektur

Hanya dengan memandangi bangunan-bangunan yang ia rancang, sebagian besar orang akan mengenali keahlian arsitek kontemporer dengan karya-karya yang kemegahan, cantik, bersih dan berjajar. Beberapa karyanya yang lebih terkenal adalah Hall of Fame Rock & Roll di Cleveland, Menara Bank of China di Hong Kong, dan Museum Seni Islam di Qatar. Tentu saja, daftar ini tidak lengkap tanpa menyebutkan Piramida Louvre yang dibuka pada tahun 1989 untuk memperingati peringatan 200 tahun lahirnya Republik yang berawal dari Revolusi Perancis.

Dan ya, piramida kaca ultra-modernis (satu piramida besar yang dikelilingi oleh tiga piramida kecil di sebelahnya) juga memulai revolusi dengan sendirinya.

Hari ini, dengan berdiri di depan Piramida Louvre, orang pasti kagum dengan struktur bening yang berada tepat di jantung Louvre tersebut. Pada hari itu, piramida kaca setinggi 22 meter tersebut membanjiri museum dengan cahaya alami untuk menanamkan rasa antusiasme di kawasan kuno. Saat malam tiba, cahaya lembut berwarna kuning keemasan dari bagian dalam museum menerangi piramida kaca dari bawah, seperti kebangkitan naga emas yang mistis; tubuhnya terbentuk oleh pantulan di air yang tenang. Ukurannya yang sangat besar melengkapi kemegahan Piramida Louvre tanpa merusak kesan arsitektur Perancis abad pertengahan yang tampak pada bangunan di sekelilingnya; orang Paris sekarang bangga akan hal itu.

Tetapi penerimaan piramida Louvre tidak selalu mulus. Ketika pertama kali diluncurkan, Piramida Louvre dianggap sebagai bentuk “penistaan” terhadap museum yang sudah berdiri sejak abad ke-12. Alasan pertama, karena Piramida Louvre dibangun oleh arsitek keturunan Cina-Amerika, bukan orang Perancis. Kedua, dirasa terlalu modern untuk menjadi wajah Louvre. Ketiga, Piramida Louvre membangkitkan motif kematian bangsa Mesir.

Pada kenyataannya, I.M Pei menghadapi banyak sindiran dari penduduk Perancis hingga pada puncaknya, 90% penduduk Paris menentang proyek ini. Sambil mengenang episode yang menegangkan dengan publik Perancis, I.M. Pei mengakui, “setelah Louvre, saya pikir tidak ada proyek yang terlalu sulit”; kisahnya adalah fitnah pribadi dan rasisme anti-Cina yang ditemui Pei.

30 tahun kemudian, bagaimana orang Paris menerima bangunan dengan desain ultra-modernis ini? Titik baliknya adalah ketika Pei menunjukkan tiruan skala penuh kepada Jacque Chirac, Walikota Paris, yang mengagumi makna arsitektural dari piramida modern di kawasan kuno. Pengakuan tersebut kemudian diikuti oleh ulasan positif dari politisi senior dan penggemar arsitektur. Akhirnya, Pei dijuluki sebagai seorang modernis ulung seperti sekarang.

Walaupun tampilan monumen itu tidak berubah sama sekali sejak pertama diresmikan pada tahun 1989, namun pandangan orang-orang (terutama orang Perancis) terhadap bangunan ini tentu saja berubah. Buktinya, Louvre menjadi museum paling populer di dunia dengan 10,2 juta pengunjung. Secara kebetulan, satu abad sebelum Piramida Louvre, pada tahun 1889, ketika Menara Eiffel diresmikan, menara itu juga dijuluki lelucon arsitektur — menara yang tidak berguna dan mengerikan.

Lucunya, orang Perancis terkenal sangat bangga dengan warisan mereka dan mungkin bisa dibilang anti terhadap perubahan tetapi begitu desain revolusioner ini terbukti memperindah garis langit mereka, sebagian besar mengangguk setuju. Itu bukan untuk mengatakan bahwa selera mereka dangkal, melainkan, sebagai kasus untuk mempertimbangkan kembali bagaimana kita membingkai diskusi kita pada infrastruktur publik.

Di LUXUO, kami sepakat tentang pentingnya pelestarian warisan, tetapi kami percaya bahwa modernitas juga memiliki tempat di City of Light (lihat Philharmonie dan Fondation Louis Vuitton). Diskusi dipersilakan untuk menjelaskan pendapat publik — karena rasa bangga mereka yang membuat kita marah — tetapi mereka harus dipusatkan pada semangat bangunan daripada hal yang dangkal seperti ras arsitek atau dihambat oleh masalah besar seperti “Asal”. Perdebatan ini harus mengeksplorasi pertanyaan “apa yang telah terjadi/dilakukan” dan kemudian memutuskan “apa yang bisa terjadi/dilakukan selanjutnya”.

Baru-baru ini, dibangunnya kembali Notre Dame setelah kebakaran pada tanggal 15 April 2019 menjadi topik perdebatan yang hangat; publik terpecah antara pembangunan bentuk yang baru atau bentuk yang lama. Tentunya, ini lebih rumit daripada Louvre atau Menara Eiffel karena kemiringan teologis dalam skenario ini, namun, masih ada gunanya untuk mempertanyakan apakah struktur baru yang menyesuaikan dengan zaman lebih disukai daripada mempertahankan bentuk yang sudah ada sebelumnya.

Tetapi, bagaimanapun, jangan tinggalkan kesopanan kita atau dibutakan oleh keinginan kita dan turun ke pertengkaran politik yang bias. Saat kami berupaya mengartikan kecocokan bentuk dan makna dari infrastruktur baru, janganlah mematikan ide-ide baru karena pembaharuannya.

Sebaliknya, mari kita selesaikan debat-debat besar ini dengan martabat dan mendasarkan keputusan kita pada prinsip-prinsip yang dihargai masyarakat kita dan makna dari bangunan itu. Perpaduan eklektik pada gaya arsitektur, dari katedral yang gotik ke piramida kaca Louvre yang modern, di Paris adalah bukti potensi besar dari upaya keberanian, yang disengaja, di bidang arsitektur. Sama halnya dengan masyarakat yang telah berevolusi sepanjang abad, arsitektur, yang didukung oleh paradigma masyarakat, dapat berevolusi untuk mencerminkan perubahan ini. Penolakan inovasi yang tidak masuk akal hanya tampak seperti upaya yang dibuat-buat untuk membekukan waktu.


 
Back to top