Properti / Real Estat

Berinvestasi di Enam Villa Terapung

Keenam villa terapung ini setimpal nilai investasinya serta perjalanannya.

24 Sep, 2016 | Oleh LUXUO

luxuo-id-berinvestasi-di-enam-villa-terapung-malcew-floating-home-maldives

Melewati Maladewa dengan pesawat baling-baling, pulau-pulaunya terlihat seperti kerikil hijau di atas laut biru-hijau. Dari atas, terlihat juga konstelasi resor serta villa yang mengular ke dari tepi pulau, memeluk trotoar dan bertengger di atas panggung kayu. Namun, tidak semua villa yang ada ditambatkan ke dermaga. Bungalow di beberapa resor baru, dirancang untuk mengapung di Samudera Hindia.

The Ocean Flower

The Ocean Flower

The Ocean Flower

Salah satu proyek tersebut, The Ocean Flower, yaitu 185 villa terapung, ditata berbentuk bunga Maladewa. Dirancang oleh perusahaan arsitektur Belanda Waterstudio, bertingkat dua dan memiliki tiga kamar tidur, kolam berendam pribadi dan dihargai sekitar $ 2,5 juta.

“Apa yang kami coba lakukan adalah mengambil perbedaan antara rumah dan rumah biasa terapung, kemudian membuat keduanya sama,” kata Koen Olthius, pendiri Waterstudio. Dia mulai merancang rumah terapung di Belanda, hingga kini sudah mengekspor konsep tersebut untuk berbagai lokasi di seluruh dunia.

The Ocean Flower merupakan bagian dari The 5 Lagoons, sebuah proyek besar di gugusan Male Utara, yang dapat dicapai 20 menit lewat jalur laut. Ibukota Male merupakan perusahaan patungan antara Dutch Docklands Internasional dan Pemerintah Maladewa. Waterstudio juga merancang Amillarah, fase lain dari The 5 Lagoons yang akan memiliki sepuluh pulau terapung pribadi yang ditata seperti sebuah kepulauan. Masing-masing villa memiliki pantai pribadi, kolam renang, area hijau dan dermaga untuk pesiar.

Pulau-pulau alami di Maladewa berukuran kecil, langka dan rentan terhadap pasang dan naiknya permukaan air, maka pengembang resor secara bertahap beralih pada arsitektur terapung. “Konsep ini sempurna bagi Maladewa,” ujar Dymitr Malcew, seorang arsitek Singapura. Dia telah merancang konsep rumah terapung mewah untuk pengembang Perancis sejak 2012 dan hingga sekarang mengerjakan proyek dari pengembang resor dan investor swasta di seluruh dunia, termasuk Maladewa.


Malcew Floating Homes, Maladewa

Malcew Floating Homes interior

Malcew Floating Homes interior

Malcew memiliki dua kamar tidur, dua kamar mandi, teras dan jendela besar, yang menampilkan pemandangan serta cahaya matahari optimal. Rumah ini dibangun di atas panggung mengambang yang dapat dengan mudah dipindahkan dan memiliki pasokan listrik dari panel surya, atau listrik konvensional jika sedang berlabuh di dermaga. Rumah ini juga memiliki sistem pemurnian air.

“Saya terinspirasi oleh pasar otomotif dan kapal pesiar mewah ketimbang pendekatan arsitektur yang tipikal,” Malcew menjelaskan.

Rumah terapung tidak hanya ada di Maladewa. Di Thailand, resor seperti The Float House River Kwai Resort di Kanchanaburi, memiliki vila mengambang yang terbuat dari kayu jati dan bambu, serta dilengkapi balkon pribadi dan dermaga. Perusahaan desain asal Thailand, Agaligo Studio memperkenalkan pendekatan hunian terapung modern lewat X-Float, serangkaian resor villa di Sungai Kwai yang terbuat dari kerangka baja ringan, dilapisi fiber semen dan kayu lapis. Semua unit dirancang untuk memaksimalkan pemandangan sungai dan melindungi penghuninya dari teriknya matahari tropis.

BMT Asia Pacific, konsultan asal Hong Kong, juga sudah merancang konsep rumah terapung yang diibaratkan sebagai “pesiar tak bergerak”. Konsep ini dirancang untuk menciptakan pengalaman baru bagi wisatawan. The Sea-Suite diluncurkan pada 2014 dengan tiga model, yaitu Floating Lodge, Houseboat, dan Beach Cabin, yang masing-masing menggunakan cetakan berbentuk telur sebagai pondasi bagi desain hunian yang mudah bergerak, mudah beradaptasi dan berorientasi kelautan. Edisi baru SeaScape memiliki dek 40-kaki ekspansif, setiap villa dapat diatur sesuai selera dan dapat diperluas di tiap unit-nya. Termasuk dek matahari atau kolam renang tertutup, membuat resor terapung ini berukuran  1.800 kaki per segi. Desain ini juga dilengkapi dengan kamar tidur bawah laut dalam kolom akrilik seluas 13-kaki, yang menciptakan efek akuarium dengan pemandangan dalam laut seluas 360 derajat.

 

The Floating Seahorse

The Floating Seahorse

The Floating Seahorse

Sebuah proyek baru yang memiliki kamar tidur bawah laut di Timur Tengah sudah diresmikan pada bulan Desember. Proyek baru Kleindienst Group ini, The Floating Seahorse memiliki koleksi villa terapung di lepas pantai Dubai. Strukturnya dirancang seperti perahu bertingkat tiga : kamar tidur utama bawah laut dan kamar mandi yang dirancang untuk menampilkan pemandangan bawah laut. Sementara lantai dasar dilengkapi dapur, ruang makan dan dek, dan lantai atas memiliki tempat tidur informal, dapur dan jacuzzi. Sebanyak 60 unit sudah habis terjual saat peluncuran perdana, kini unit Seahorses tersisa dijual dari angka $ 2.8 juta.

“Kami melihat tren di seluruh dunia, yaitu High Net Worth Individuals tidak hanya mencari griya tawang, tapi nuansa pulau pribadi,” kata Koen Olthius.

Di Belanda, negara asal Koen, 50 persen penduduk hidup di bawah permukaan laut, dan Belanda telah menghabiskan berabad-abad membangun tanggul, pompa, dan sistem drainase untuk menjaga Laut Utara tetap berada di teluk. Rumah terapung telah memberikan solusi alternatif sejak abad 17, seperti tongkang yang dialihfungsikan menjadi rumah.

The Floating Seahorse interior

The Floating Seahorse interior

Di beberapa tahun belakangan, bangunan terapung kembali populer, terutama di masa cuaca yang ekstrim. Keuntungan yang jelas adalah bangunan ini dapat bergerak secara vertikal dengan fluktuasi kadar air yang disebabkan oleh pasang surut, hujan deras atau banjir. Bangunan ini juga mudah dipindahkan.

Tapi di luar alasan praktis, rumah terapung juga menarik bagi calon pembeli karena mereka mampu mendapatkan kedekatan yang intim dengan air, dan suasana yang terbuka, lengkap dengan cahaya dan pemandangan mirip seperti berada di atas perahu. Sebuah rumah ‘normal’ membutuhkan batas besar dengan tingkat air untuk mencegah banjir. Sementara rumah terapung, muka bangunan dapat dengan aman ditempatkan hanya berjarak 35 cm di atas permukaan air.

Di Amerika Serikat, rumah terapung umum ditemui di kawasan Pantai Barat, khususnya di Seattle, di mana Danau Washington, Lake Union, dan The Locks menawarkan kondisi tepian air terlindung yang cocok bagi bangunan terapung. Berdiri di dalam rumah terapung adalah perasaan yang luar biasa, kata Eric Cobb, seorang arsitek dari Seattle yang terbiasa mengerjakan rumah terapung.

“Ketika anda berada di lantai pertama, anda mungkin hanya berjarak satu kaki dari permukaan air dan rasanya seperti anda berada di atas perahu. Memiliki pintu kaca geser dari kamar tidur anda dan air setelahnya adalah perasaan yang luar biasa,” ujar Eric.


SeaScape Luxury Floating Villas Concept

luxuo-id-berinvestasi-di-enam-villa-terapung-seascape

SeaScape

Dalam beberapa tahun terakhir aturan rumah terapung di Seattle semakin diperketat karena dampaknya terhadap garis pantai.

“Rumah-rumah ini berukuran besar, sehingga menciptakan daerah berbayang yang besar dan berdampak ekosistem sekitar,” kata Cobb. Peraturan kota yang sekarang mencegah pengembang membangun rumah baru, meskipun pasar kembali bergairah.

Koen Olthius percaya peraturan kota seperti mencerminkan “cara berpikir kuno” dan menghalangi jalan yang memungkinkan rumah terapung memasuki ke pasar arus utama dan menciptakan apa yang dia percaya sebagai model perumahan yang lebih berkelanjutan.

“Pengalaman kami di Belanda menjadikan kami ahli dalam menentukan besar dan kecilnya pondasi yang akan digunakan,” katanya.

Banyak arsitek berpendapat bahwa sistem hunian terapung mudah beradaptasi dan dapat dipindahkan dalam waktu singkat tanpa meninggalkan bekas pada lingkungan, faktor ini membuat hunian ini adalah mode hunian yang berkelanjutan dan tahan lama. Model SeaScape BMT, misalnya, dirancang untuk lokasi lepas pantai di seluruh pulau-pulau kecil, di mana jejak minimal pada lingkungan adalah kunci. Beban daya keseluruhan juga diatasi dengan pemasangan panel surya di atap, serta ventilasi alami.

“Sementara kita tidak secara khusus berfokus pada fitur ramah lingkungan dalam desainnya, beberapa unit ini intrinsik di lokasi pesisir, yang memiliki ventilasi alami dari angin laut dan pengaturan suhu dari lambung melalui air laut,” kata Richard Colwill, Managing Director dari BMT Asia Pacific.

Amillarah Private Islands, Dubai

Amillarah Private Islands, Dubai

Amillarah Private Islands, Dubai

Konsep ini juga menyediakan solusi kemanusiaan, terutama di dataran rendah dan daerah rawan banjir. Pengembang hunian mewah telah mendanai banyak inovasi baru untuk rumah terapung, tapi Olthius mengatakan gelombang baru permintaan datang dari area kota dan rawan banjir, dari Ukraina hingga Cina.

Di UK, firma desain telah mengusulkan tipologi yang sama sebagai cara menangani daerah yang dilanda banjir dan sebagai solusi kurangnya perumahan di London. Baca Architects baru-baru ini mengembangkan rumah terapung untuk kompetisi NLA yang bertujuan mengatasi krisis perumahan ibukota. Proyek ini bertujuan untuk memasang perumahan terapung siap huni pada ruang tak terpakai sepanjang 50 mil sungai dan kanal di Greater London, serta 150 hektar tambahan “Bluefield” ruang di Docklands nya, marina dan cekungan. Bagi Koen Olthius, transisi ke rumah air adalah hanya bagaimana membangun mereka ke dalam jaringan yang sudah ada. Menurut Olthius, permintaan untuk rumah terapung sudah jelas, hanya menyisakan proses negosiasi dengan pemerintah kota dan perusahaan asuransi sekaligus mengedukasi mereka soal panjangnya umur hunian terapung dan rendahnya biaya perawatan.

The Float House River Kwai Resort, Thailand

The Float House River Kwai Resort, Thailand

The Float House River Kwai Resort, Thailand

Jika permukaan air laut mulai naik seperti yang diperkirakan, area kota mungkin tidak punya pilihan selain untuk membangun rumah terapung. Untuk saat ini, beberapa negara sudah lebih terbuka terhadap ide ini. Waterstudio telah menghabiskan dua tahun belakangan mengerjakan sebuah proyek di Florida, tapi mereka menghadapi tentangan yang cukup besar dari masyarakat setempat.

“Semua orang tahu jika saya memiliki sebidang tanah, maka saya bisa membangun di atasnya, namun jika saya membangun di atas kawasan air, semua orang akan mengeluh. Di AS, orang-orang merasa memiliki hak dan privasi yang kuat dibandingkan Eropa atau Asia. Rumah-rumah ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat,” jelas Olthius.

Walaupun tidak ada kenaikan permukaan laut yang dramatis, Olthius mengatakan dia berkomitmen untuk membangun hunian di atas air.

“Kami prihatin dengan urbanisasi, dengan harga tanah, kebutuhan tanah. Air memberi kita tiga hal: ruang; keamanan dan fleksibilitas, dan waktu respon yang sangat singkat untuk perubahan kita tidak bisa ramalkan,” kata Olthius.

 

Kredit cerita

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Palace Magazine.


 
Back to top